Pernikahan = Cinta yang Diberkahi


Bahagianya Merayakan Cinta Tepat di bulan Safar tanggal 24 tahun 1435 H merupakan peristiwa sakral bagi saya dimana pada tanggal tersebut saya melakukan akad nikah. Waktu itu masih teringat di pikiran saya hal-hal yang saya coba menuliskan untuk mengenangnya. Tulisan ini sebagai pengingat saya tentang komitmen dalam membangun rumah tangga. Tepat pukul 10.00 WIB di depan rumah saya terdapat banyak penabuh rebana (tim hadrah) dan juga ibu-ibu yang siap mengantar saya ke rumah mempelai wanita untuk melangsungkan akad nikah.

Ada sesuatu yang bergemuruh dalam hati saya ketika tim hadrah membaca sholawat atas baginda Nabi Muhammad SAW. Serasa berdatangan pasukan langit menyaksikan peristiwa sakral itu. Saya sendiri memperbanyak membaca sholawat untuk mengurangi ketegangan di dalam dada. Di sambut dengan riasan bunga yang semerbak harumnya. Bak raja yang ditunggu kehadirannya. Ah sungguh indah hari ini. Saya bersyukur telah memilih jalan menikah. Selanjutnya, sebelum dipertemukan sang ratu, saya harus melampaui syaratnya yaitu ucapan ijab kabul. Saya duduk di tengah-tengah kerumunan undangan. Ada desir hati yang tidak menentu tetapi segera bisa saya kuasai.

Perasaan ini lebih tenang dibandingkan dulu ketika harus berhadapan di depan dewan penguji tesis. Tetapi, kali ini kelihatan begitu sakral karena melibatkan Allah dan hambaNya. Susunan acara akad yang begitu lengkap menambah nuansa kesakralan peristiwa ini. Pantas saja dalam Al Quran dinamakan dengan perjanjian berat (mitsaqon gholidza). Dimulai dengan pembukaan dengan membaca surat al fatichah, kemudian dilanjutkan tilawah Al Quran. Ada nuansa sahdu ketika qori’ membacakan ayat-ayat alquran tentang pernikahan. Selanjutnya penyerahan amanah wali mempelai wanita pada kyai (ulama) yang sudah diamanahkan. Di sinilah tugas orang tua dalam mendidik anaknya dinyatakan selesai. Seolah dalam hal ini, orang tua menyerahkan tugasnya kepada mempelai putra yang tidak lain adalah suami dari anaknya nanti.

Pembacaan khotbah nikah pun menjadi pelengkap peristiwa itu sehingga sampailah pada acara ijab kabul yang ditunggu-tunggu. KH. Djamaluddin Ahmad yang diamanahi jadi wali oleh orang tua mempelai wanita memberikan wasiat sedikit tentang pentingnya akad nikah ini. Saya pun sebelum mengucapkannya diajak untuk latihan dulu. Saat itulah saya merasakan gemetar yang sangat. Degup jantung memompa kencang tatkala beliau menjelaskan bahwa pelafalan huruf harus tepat. Saya tidak bisa membayangkan apabila ada kesalahan kata atau pelafalan yang membuat hubungan saya dan istri seumur hidup termasuk perbuatan zina. Saksi dan para tamu undangan diminta untuk mencermati mulut saya dan beliau. Ada penambahan kata dari kabul yang umum diucapkan. “Qobiltu nikaachahaa wa tazwiijahaa linafsai bil mahril madzkuur” Kata linafsi sebagai pelengkap kalimat yang akan saya ucapkan tersebut dan alhamdulillah lancar.

Betapa bahagianya saya dan juga istri. Puji syukur pun kami haturkan pada Allah dan RosulNya. Acara tersebut ditutup dengan doa. Di sinilah saya merasakan pernikahan kami insyaAllah penuh barokah. Ada empat kyai (ulama) yang diminta membacakan doa. Alhamdulillah… “Baarokallahu laka wa baaroka alaika wajama’a bainakumaa fii khaiir” Menikah adalah cinta yang diberkati. Selanjutnya bernilai ibadah dan yang terakhir adalah menggapai ridho ilahi. Menikah adalah sunnah Nabi. Maka segerakanlah apabila sudah mampu (jasmani dan rohani).

Kebahagiaan kami semakin nampak jelas ketika saling dipertemukan. Hanya sekali saya memadangnya dan kini dia adalah wanita yang selalu mendampingi dalam suka dan duka. Peristiwa sakral itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun ibu istri saya. Subhanallah…Kini, ketika matahari telah tenggelam, indahnya merayakan cinta. Semoga barokah. Aamiin.

2 thoughts on “Pernikahan = Cinta yang Diberkahi

Tinggalkan komentar